sta PPID KABUPATEN KARANGASEM-ppid.karangasemkab.go.id

Baca Artikel

MAKNA NGELINGGIHANG DEWA HYANG

Oleh : | 15 Februari 2016 | Dibaca : 4455 Pengunjung

Oleh : Ida Made Pidada Manuaba

 

A.    PENDAHULUAN

Upacara yadnya adalah salah satu bentuk Bhakti umat Hindu  kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang ejawantahkan melalui Karma dan Jnyana. Bhakti, Karama dan Jnyana merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu, Bhakti kepada Tuhan tidak mungkin dilakukan dengan tanpa kerja dan kerja yang benar adalah kerja yang didasarkan atas pengetahuan (jnana). Dalam kegiatan upacara keagamaan Hindu ketiga jalan tersebut benar-benar luluh menjadi satu, upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan iklas untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, dan waktu itu juga dilakukan dengan iklas dan upacara yang dilakukan juga mengacu pada kitab suci atau sastra, dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yaitu peraturan-peraturan beryadnya, Sudharta, dkk. 2007:1) Identitas manusia Bali dapat ditentukan dari cara seseorang mengekspresikan nilai budaya Bali dalam kehidupannya. Akan tetapi masih dibutuhkan kehati-hatian dalam merumuskan kebudayaan Bali yang dapat mewakili semua daerah yang ada di Bali. Mengingat budaya Bali di masing-masing daerah menunjukkan ciri-ciri yang bervariasi, unik, dan khas. Namun yang menjadi icon Bali secara umum adalah pura dan upacara yadnya-nya

Adapun yang melatar belakangi munculnya Yadnya yang diyakini masyarakat Hindu di Bali, adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa masyarakat Hindu Bali menyadari alam semesta ini beserta isinya diciptakan oleh Hyang Widi berasarkan Yadnya. Oleh sebab itu sudah sewajarnya kita membalasnya juga dengan jalan pelaksanaan Yadnya.
  2. Masyarakat Hindu di Bali menyadari adanya ajaran Tri Rna, yang mengajarkan bahwa setiap orang yang terlahir kedunia terikat oleh tiga jenis hutang, yaitu hutang hidup berupa Atma kehadapan Hyang Widi,( Dewa Rna) yang diimflementasikan dalam bentuk Yadnya yang terdiri atas Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Hutang jasa berupa pengetahuan kepada para Resi/ Guru (Rsi Rna) bentuk imflementasinya berupa Rsi Yadnya. Hutang kehadapan Orang Tua (Pitra Rna) yang melahirkan dan memberi kita Rupa sehingga disebut Guru Rupaka berupa badan melalui pemberian makanan dan kasih sayang sehingga kita bisa tumbuh sebagai mana mestinya. 
  3. Konsep Ngayah. ngayah adalah perwujudan rasa bhakti umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan kerja dan tidak mengharapkan imbalan karena ia yakin bahwa kerja yang dilakukan adalah kewajiban atau swadharma. Jagi ngayah merupakan sikap dan sifat sosio-religius masyarakat Hindu Bali yang dijadikan sistem nilai dan norma kemudian diimplementasikan dalam sistem tindakan sosial di Desa Pakraman, serta diwujudkan dalam bentuk material-material budaya yang agung dan sebagai falsafah masyarakat Hindu Bali. Bali yang tanpa Desa pakraman, Bali yang tanpa Pura, Bali yang tanpa yadnya dan Bali yang tanpa toreransi, kesantunan dan tanpa kejujuran berarti Bali yang telah hilang ke-Bali-annya karena identitas masyarakat Hindu Bali ada pada unsur-unsur tersebut dia atas.

B.     PEMBAHASAN

  1. Pengertiang Ngelinggihang Dewa Hyang

Secara etimologi kata Ngelinggihang  kata dasarnya yaitu linggih yang mempunyai pengertian duduk, sedangkan ngelinggihang mempunyai pengertian dudukkan, persilakan para dewa yang dipuja telah disemayamkanpada bangunan suci yang baru selesai (Tim Penyusun, 354:1978). Ngelinggihang sering disebut ngenteg linggih. Ngenteg Linggih adalah upacara penobatan/mensthanakan Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada palinggih atau bangunan suci yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacara di pura yang bersangkutan.

 Kata dewa (deva) berasal dari kata div yang berarti bersinar. Dalam bahasa Latin dues  berarti  “dewa” dan “divus” berarti bersifat ketuhanan. Dalam bahasa Inggris istilah Dewa sama dengan deity, dalam bahasa Perancis “dieu” dan dalam bahasa Italia “dio”. Dalam bahasa Lithuania, kata yang sama dengan “deva” adalah “dievas”, bahasa Latvia: “dievs”, Prussia: “deiwas”. Kata-kata tersebut dianggap memiliki makna sama. “Devi” (atau Dewi) adalah sebutan untuk Dewa berjenis kelamin wanita. Para Dewa (jamak) disebut dengan istilah “Devatā” (dewata).

Dalam tradisi Hindu-Jawa dan Bali umumnya, istilah Bhatara dipakai untuk merujuk kepada Dewa. Dalam tradisi Agama Hindu Dharmadi Bali, istilah Bhatara diucapkan Bêtarə, dan disamakan atau bahkan diidentikkan dengan Dewa, karena sama-sama berfungsi sebagai pelindung, contohnya: Bhatara Wisnu, Bhatara Brahma, Batara Kala, dan sebagainya. Bhatara berasal dari kata “bhatr” yang berarti pelindung. Bhatara berarti “pelindung". Jadi bhatara adalah aktivitas Sang Hyang Widhi sebagai pelindung ciptaanya, karena itu dalam pandangan agama hindu semua hal dialam semesta ini dilindungi oleh Sang Hyang Widhi dengan gelar bhatara.

Sedangkan kata Hyang dapat diartikan sebagai Dewa (ta), dewa – dewi ( Madiwarsito, 1981:229), sedangkan ditinjau dari filosofi Hyang mengandung pengertian suatu keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus biasanya ini dipersonifikasikan yang bercaya dan suci.

Dewa Hyang disini diartikan keadaan atma setelah meninggal, masih dibungkus oleh suksema sarira yang terdiri dari panca tanmatra dan dasendria, tri guna, cita dan karmawasana sehingga dilaksankan upacara pengabenan, selanjutnya dilaksanakan upacara ngeroras/memukur.  Dalam lontar ligia disebutkan bahwa setelah upacara memukur, roh / atma orang yang diupacarai disebut dewa pitara / dewa hyang “yata awaning sang dewa pitara umungsi ana ring Acintya Bhuana, sehingga dengan keadaan demikian atma memerlukan upacara nuntun dewa hyang.  Dalam tradisi di Bali dikenal dengan sebutan meajarajar, yang dilanjutkan dengan nuntun dewa hyang / dewa pitara yang selanjutnya akan disethanakan sebagai Bhatara Guru disanggah / merajan / paibon sesuai dengan tradisi kelauarga masing – masing.

Kaitannya atma yang atelah disucikan menurut lontar Gayatri, sang dewa pitara berada di alam swah loka, swah loka itu adalah alam para dewa, penyatuan ini dapat dilakukan dengan upacara ngelinggihang / ngentegang dewa hyang dengan tujuan menyatukan, menyetarakan kedudukan roh leluhur yang terdahulu dengan roh leluhur yang baru diupacarai dan dapat dipuja setiap saat melalui kayangan masing – masing.

2. Tempat Ngelinggihang Dewa Hyang

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan / tempat suci untuk memuja Hyang Widhi/dewa dan bhaþàra, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya: (1) Pura yang berfungsi sebagai tcmpat untuk memuja Hyang Widhi, para devatàdan (2) Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhatàra yaitu roh suci leluhur yang dikenal dengan sebutan Pura Kawitan. Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau luluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari pura milik warga atau pura klen. Dengan demikian mika pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut pura Dadya sehingga mereka disebut tunggal Dadya. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga besar (extended family). Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum kawin .  Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut sanggah gede atau pamarajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat tcrsebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura paibon atau pura panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu, ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), pura Penataran (Penataran Klen) dan sebagainya

Mencermati fungsi pura tersebut kaitannya dengan pelaksanaan ngelinggihang Dewa Hyang seuai dengan petunjuk sastra (lontar) diantaranya: 

Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :

“ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)

Yang artinya :

”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).”

Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa. Kutipannya adalah sebagai berikut :

“….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b).

Artinya :

“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”

Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.

  • Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakaan, muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan. 
  • Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan, muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran. 

Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan yaitu Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal: 

 “..iti kramaning ngunggahang pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa walws dinanya, sawulan pitung dinanya…”. 

Artinya:

 “…Ini perihalnya naikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya..”

Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa seperti disebutkan :

“riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewahyangnya nguni……” (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).

Yang artinya :

“Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau semasa hidupnya sebagai laki -laki dinaikkan pada ruang kanan, Kalau roh suci itu dahulunya perempuan dinaikkan di sebelah kiri, di sana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.”

Dalam Lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa: sanghyang atma setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirthapangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :

“Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan” (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).

Artinya :

“Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan”

Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi / Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahman, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.

 

3. Cara Ngelinggihang

Upacara ngelinggihang Dewa Pitara / Dewa Hyang dapat dilangsungkan setelah 3 hari dari upacara memukur dan dapat pula dilaksanakan setelah nganyud sekah ke segara atau dapat dilaksanakan pada saat tegak piodalan pura bersangkutan. Upacara ini dilaksanakan disanggah merajan/ pura paibon yang disesuaikan dengan cara / drsta yang biasa dilaksanakan oleh keluarga bersangkutan.

Upacara  ini dapat diselesaikan / dipimpin oleh sang sadaka / sulinggih atau pada tingkatan alit dapat dilakukan oleh Jro Mangku. Adapun eed upacaranya sebagai berikut :

  • Terlebih dahulu disiapkan sarana upakara dan diatur letaknya sedemikian rupa menurut fungsi dan letaknya masing – masing
  • Ngajum daksina pelinggih / tigasan / untuk sang dewa pitara pada daksina linggih / tigasan diberi pipil diberikan nama yang diupacarakan kalau sudah di ingkup nama berubah menjadi purusa atau pradana.
  • Dilanjutkan sang muput melaksanakn muja ngastawa, nudusin, nuurang
  • Nuntun daksina linggih / tigasan sang Dewa Hyang kehadapan pelinggih kemulan untuk melaksanakan pengingkupan / ngelingghang: sang dewa pitara lanang ke ayabang ring tengen kemulan, sang pitara istri ayabang ring rong kiwa pelinggih kemulan,  setelah selesai daksina pelinggih dikelilingkan memutari pelinggih kemulan sebanyak tiga kali mengarah jarum jam / purwadaksina, dengan dituntun menggunakan penuntun, setelah selesai daksina pelinggih dilinggihkan pada rong kemulan sesuai status yang diupacarakan. Sedangkan apabila memakai tigasan dapat dilaksanakan ngingkup / menyatukan antara tigasan pengadeg lama dengan dewa hyang baru.
  • Dilanjutkan upacara tutug tiga hari, abulan pitung dina, tiga bulanan, aoton, duang otong, melekutusin.

 

4. Tujuan Upacara Ngelinggihang Dewa Hyang

Adapun tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan Upacara Ngelinggihang Dewa Hyang adalah sebagai berikut :

a) Untuk membebaskan leluhur dan diri dari ikatan dosa. Adapun yang menjadi tujuan melaksanakan upacara yadnya adalah sebagai mana dimuat dalam Bhagawad Gita, III,12, yang terjemahannya sebagai berikut :

  • Dipelihara oleh Yadnya, Para Dewa akan memberi kamu kesenangan yang kamu inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, Tanpa memberikan balasan kepada Nya, Adalah pencuri.

  • Orang-orang yang baik, Makan apa yang tersisa dari Yadnya, Mereka itu terlepas dari segala dosa, Akan tetapi mereka yang jahat Menyediakan, makanan untuk kepentingan dirinya sendiri, Mereka itu adalah makan dosanya sendiri.

b) Untuk membebaskan leluhur dan diri dari ikatan karma Tujuan selanjutnyatentangupacara adalah untuk membebaskan diri manusia dari ikatan hukum karma. Hal dapat dipetik dari Kitab :

  • BhagawadGita, III,09, yang terjemahannya sebagai berikut :

Kecuali pekerjaan apa yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, Dunia ini juga terikat oleh Hukum Karma, Oleh karena O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, Bebaskan diri dari semua ikatan, Yadnya dengan melakukan pekerjaan tanpa mengikatkan diri dengan ikhlas untuk Tuhan.

  • Bhisma Parwa :

apan ikang karma kabeh kaentas krta tekap ning yadnya niyatannya. Artinya : segala karma itu akan dapat dibebaskan dengan pelaksanaan upacara yadnya yang sesungguhnya.

c) Sebagai salah satu jalan untuk mencapai Sorga dan kemuliaan. Hal inidapat kita temui dalam kitab Agastya Parwa “ tiga ikang karya amuhara swarga, lwire, tapa, yadnya, kirtti “ artinya ada tiga jalan untuk mencapai Sorga dan kemuliaan  yaitu tapa, yadnya dan kirtti.

 

d) Pada akhirnya tujuan dari pada Yadnya adalah untuk mencapai “kelepasan“ yaitu manunggalnya antara Atma dengan Paramatma. Hal ini sebagai mana dimuat dala Bhagawad Gita, IV,31 yang terjemahannya sebagai berikut :

Mereka yang memakan makanan suci

Dari sisa Yadnya, akan mencapai Brahman

Dunia ini bukan untuk ia

Yang tidak memberikan pengorbanan

Apalagi dunia lainnya

O Arjuna yang terbaik dari para Kuru.

 

C.    PENUTUP

Pelaksanaan upacara yadnya hendaknya dimaknai secara mendalam dan diejawantahkan dalam prilaku kehidupan sehari-hari dalam masyarakat artinya yadnya harus mampu memberikan pencerahan dan perubahan prilaku kearah yang lebih baik. Ada segelintir oknum menganggap bahwa agama Hindu di Bali tidak berdasarkan weda, melainkan lontar-lontar yang diragukan kebenarannya. Hal tersebut tentunya merupakan pemikiran yang dangkal karena tidak melihat secara utuh esensi Hinduisme.

Demikianhalnya dalam pelaksanaan upacara ngelinggihang dewa hyang merupakan salah satu wujud rasa bhakti kepada leluhur yang mengandung makna dan harapan agar para leluhur dapat menyatu dengan paramatma (siwa) dan senantiasa memberikan perlindungan dan sinar suci kepada keturunannya. Yang lebih penting adalah kita senantiasa menjaga dan merawat leluhur kita semasih hidup.



Artikel Lainnya :

Lihat Arsip Artikel Lainnya :

 



Waktu Pelayanan Informasi

Hari Senin s/d Kamis Jam: 07.30 s/d 15.00 Wita

Hari Jumat Jam: 07.30 s/d 14.00 Wita

Link Terkait
Kritik Saran
Polling
Bagaimana Penilaian Anda Terhadap Website ini?
Statistik


2609191

Pengunjung hari ini : 81
Total pengunjung : 396871

Hits hari ini : 392
Total Hits : 2609191

Pengunjung Online: 2