sta
Oleh : | 11 Maret 2016 | Dibaca : 3127 Pengunjung
Sehari Alam Hening untuk Menyucikan Rohani
Oleh: I Komang Pasek Antara
Sungguh momen sejarah luar biasa pada hari Rabu, 9 Maret 2016 lalu bagi bangsa Indonesia, karena hari itu bertepatan dengan dua momen langka penuh historika. Umat Hindu di Indonesia saat itu sedang menunaikan ajaran keagamaan yaitu Hari Nyepi. Sedangkan di beberapa daerah di wilayah Indonesia dapat melihatgerhana matahari total. Khususnya di bumi Bali benar-benar diselimuti suasana hening, sepi, sunyi-senyap, gelap-gulita, bagaikan sebuah jagat raya tanpa penghuni mahluk hidup. Meski Bali demikian, dibalik itu sebenarnya saat itu Bali sedang ditaburi sinar penuh kesucian, keheningan, kenyamanan dan kedamaian sejati bagi semua mahkluk hidup. Situasi dan kondisi kala itu tidak ada duanya di dunia, karena itu Bali unik. Dibilang unik, yang ada di tanah Bali tidak ditemukan di luar Bali. Ada apa dengan Hari Nyepi Bali?
Masyarakat Bali, khsusnya umat Hindu sesuai dengan ajaran Agama Hindu, saat itu hari Rabu, tanggal 9 Maret 2016 lalu sedang menunaikan Hari Nyepi. Hari Nyepi dilaksanakan sekali setahun setiap bulan Maret/April. Hari itu umat Hindu selama 24 jam penuh tidak diperkenankan/larangan melakukan empat jenis kegiatan/aktivitas yang disebut dengan Brata Penyepian (4 pantangan). Empat jenis larangan kegiatan/aktivitas tersebut meliputi: Amati Geni (tidak menyalakan api/lampu dan tidak boleh mengobarkan hawa nafsu); Amati Karya (tidak melakukan kegiatan/kerja fisik, melainkan tekun melakukan penyucian rohani; Amati Lelungaan(tidak bepergian kemana-mana, melainkan senantiasa mulat sarira/atau mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran bhakti kehadapan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasinya); dan Amati Lelanguan(tidak mengadakan hiburan/rekreasi atau bersenang-bersenang lainnya). Pada saat Hari Nyepi itulah umat Hindu telah memasuki tahun baru Icaka yang tahun 2016 ini memasuki tahun baru Icaka 1938.
Dunia Butuh Nyepi/Hening
Sungguh luar biasa nikmatnya dunia ini, karena dapat menghemat/mengurangi pembuangan gas karbon yang terpancarkan ke ruang atmosfer bumi yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor dan barang-barang elektronik dan bermesin. Sedangkanmomen Hari Nyepi banyak dimanfaatkan oleh pengelola pariwisata di Bali untuk menggaet para wisatawan menikmati Hari Nyepi di Bali. Berarti dunia butuh Nyepi/hening.
Semua Brata/larangan tersebut merupakan upaya nyata untuk menguasai dan mengendalikan diri. Kemampuan dalam penguasaan diri merupakan cermin kearifan dan mutu kemandirian seseorang umat beragama. Pada saat Nyepi umat Hindu berharap di hari yang sunyi itu dapat memasuki alam sunyata alam yang sempurna, hening, dan merupakan tonggak awal lagi menuju kebangkitan spiritual yang sejati, seperti untaian bait Kekawin Nirattha Prakerta yang diterjemahkan:
Ketika hati telah heneng, hening, halus dan cemerlang
Kemudian menyusup ke alam sunya, alam yang sempurna
Pikiran lalu bagaikan telah meliputi seluruh alam namun tidak diketahui dari mana datangnya
Orang yang telah mencapai tingkat itu adalah orang yang telah menemui hakekat kerohanian
Pelaksanaan Hari Nyepi bukan saja berlaku untuk umat Hindu yang ada di Bali saja, tetapi juga umat Hindu di luar Bali.
Sehari Penuh Umat Introspeksi Diri dan Kusuk Bersemadi
Brata Penyepian diawali saat matahari terbit di ufuk timur, dari pukul 06.00 Wita sampai matahari terbit kembali di ufuk timur keesokan harinya. Tanda dimulainya Brata Penyepian, dengan terdengarnya suara pukulan kulkul (kentongan) yang ada di setiap komunitas adat Desa/Banjar.
Gambaran sosok bumi Bali ketika memasuki dunia Nyepi, alam sunyi-senyap, namun penuh keindahan dan keheningan, tak ada lagi kehirukpikukan aktivitas manusia dan kendaraan seperti biasanya di jalan-jalan, pasar-pasar dan tempat keramaian umum dari pagi hingga malam. Hanya terlantundari kejauhan indahnya kokokan ayam bersahutan dan merdunya kicauan burung-burung. Lampu-lampu tak bersinar seperti biasanya. Indahnya bersitan sinar bintang di langit memberi nuansa keindahan. Umat introspeksi diri, khusuk bersemadi bersujud kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Hanya tampak Pecalang (petugas keamanan tradisional) berjaga-jaga di jalan raya mengawasi suasana Nyepi.
Keseokan harinya setelah Hari Nyepi, ketika sang surya mulai membukakan matanya di ufuk timur, sekita pukul 06.00 Wita. Masing Desa/Banjar memukul Kulkul (kentongan) sebagai tanda Hari Nyepi telah berakhir, dan hari itu disebut dengan Ngembak Brata. Hari itu pula umat Hindu melakukan Simakrama (saling maaf-memaafkan) terhadap keluarga atau kerabat atas segalan kesalahan/kekeliruan yang pernah mereka perbuat sebelumnya. Juga, sabagai tradisi, biasanya momen itu dipakai umat berekreasi ke obyek wisata setelah seharian penuh berada di rumah.
Rangkaian Hari Nyepi diawali dengan sehari sebelum pelaksanaan Hari Nyepi, umat Hindu di Bali menyelenggarakan kegiatan ritual Tawur Kesanga yang jatuh pada bulan mati RahinaTilem,Budha Pon Pujut, Sasih KesangaIcaka 1938 atau hari Rabu, 8 Maret 2016. Pada hari itu dalam perhitungan astronomi Hindu, matahari berada tepat berada di garis khatulistiwa. Atau pada saat itu sumbu bumi membuat sudut 90 derajat terhadap poros bumi dengan matahari. Pada hari Tilem (bulan mati) tersebut menurut Hindu menjadikannya sebagai hari terbaik untuk melakukan Upacara Bhuta Yadnya yaitu persembahan kehadapan isi alam semesta. Pada hari itu pula sebagai akhir pergantian tahun menuju tahun baru Saka.. Pergantian tahun baru Cakamenurut pandangan Hindu memperhatikan solar system, yaitu sistem peredaran bumi mengelilingi matahari dan lunar system, yaitu sistem peredaran bulan mengelilingi bumi.
Di Kabupaten Karangasem, tempat tinggal penulis menunaikan ritual Tawur Kesanga di pusatkan di Catus Pata di Lapangan Candra Bhuwana Amlapura. Saat itu ritual dihadiri Bupati dan Wakil Bupati Karangasem, I Gusti Ayu Mas Sumatri, S.Sos, MAP dan I Wayan Artha Dipa, SH, MH disertai Muspida Karangasem.
Menetralisir Alam
Makna pelaksanaan upacara Tawur Kesanga bagi umat Hindu adalah memohon kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa agar alam jagat raya beserta isinya somia atau netral terhindar dari hal-hal yang mengakibatkan keburukan.
Setelah di masing-masing tingkatan wilayah dari kabupaten, kecamatan, desa, banjar dan rumah tangga menghaturkan upacara tawur (mecaru), kemudian dilanjutkan dengan acara Pengerupukan yaitu mengelilingi halaman rumah tangga masing-masing dengan menyebar-nyebarkan nasi tawur/caru dicampur tirta caru masing-masing diiringi api obor yang terbuat dari daun kelapa kering dan membunyi-bunyikan kentongan bambu dan sarana lainnya sebagai simbol mahluk/roh jahat tidak akan menggangu isi alam semesta setelah mereka mendapat sajian tawur/caru.
Ogoh-ogoh sebagai Ekspresi Seni Budaya
Pelaksanaan pengrupukan oleh umat khususnya anak-anak muda diekspresikan dengan pawai mengarak ogoh-ogoh pada petang hari di jalan raya mengelilingi wilayah desa.
Ogoh-ogoh merupakan wujud kreativitas seni budaya Bali dari anak-anak muda umat Hindu yang tergabung dalam organisasi Teruna-teruni di masing-masing Banjar/Desa. Ogoh-ogoh adalah ekspresi simbol mahluk jahat dan binatang berwujud seram dan menakutkan yang dapat menggangu isi alam. Mahluk-mahluk halus seram itu diharapkan tidak akan mengganggu lingkungan.
Anak-anak kecil laki-perempuan sampai orangtua mengusung dan menarikanOgoh-ogoh sembari bersorak-sorai diringi api obor dan berbagai gamelan tradisional diantaranya baleganjur bertalu-talu. Suasana malam turut memberikan nuansa religius dan seram dari jenis Ogoh-ogoh yang diusung.
Tak ada siratan wajah lesu dari para penggusung dan pengikut pawai meski cukup berat beban berjalan dan mengusung beratnya ogoh-ogoh menggelilingi wilayah Desa/Banjar. Mereka sangat semangat dengan peluh membasahi seluruh tubuhnya seperti tak ada beban. Penonton yang memadati hampir sepanjang jalan raya juga memberikan support kepada peserta pawai ogoh-ogoh. Juga, penonton tertawa terpingkal-pingkal ketika peserta pawai menampilkanadegan-adegan lucu dan ogoh-ogoh lucu.
Masing-masing ogoh-ogoh yang ditampilkan diberikan identitas nama Ogoh-ogoh diantaranya Buta Ijo Bergolo, Kala Turangga dll. Setelah selesai pawai, Ogoh-ogoh di-prelina (dibakar) yang memiliki makna agar ogoh-ogoh yang berwujud seram dan menakutkan tidak dapat menggangu keseimbangan alam.
Lama pembuatan satu Ogoh-ogoh mencapai seminggu sampai dua minggu dengan biaya jutaan tergantung jenis besar-kecilnya Ogoh-ogoh dibiayai dari masing- masing banjar melalui kas banjar atau donator.
MAKNA NGELINGGIHANG DEWA HYANG
2376Ritual Unik di Desa Adat Asak Karangasem - Nyepeg Sampi Beramai-ramai untuk Menetralisir Alam
2648MENYONGSONG HADIRNYA SEORANG “NEGARAWAN”
2746PENGARUH INTELIGENSI DAN PENALARAN FORMAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 AMLAPURA
2234PENERAPAN MODEL GROUP INVESTIGATION DENGAN PENILAIAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR DASAR DAN KRITIS SISWA
Hari Senin s/d Kamis Jam: 07.30 s/d 15.00 Wita
Hari Jumat Jam: 07.30 s/d 14.00 Wita
Pengunjung hari ini : 197
Total pengunjung : 468038
Hits hari ini : 2931
Total Hits : 4817590
Pengunjung Online: 7